Kebijakan Rasulullah Dalam Menuntaskan Kemiskinan
KEBIJAKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM MENUNTASKAN KEMISKINAN KAUM MUHAJIRIN
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
Pada masa Jahiliyah, bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh cara berpikir dan system perekonomian Yahudi. Dalam bidang ekonomi, bangsa Yahudi menjalankan sistem riba. Mereka sangat mahir dalam hal ini dan selalu melakukannya di setiap tempat, termasuk di Mekah dan Madinah.
Setelah Islam datang, ikatan akidah merubah sistem ini menjadi sistem persaudaraan, gotong royong dan saling membantu. Islam sangat menekankan sisi persaudaraan sesama Muslim dalam memperkuat keutuhan masyarakatnya, terutama dalam bidang ekonomi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menekankan pentingnya arti persaudaraan dalam Islam dan semangat untuk ta’âwun (tolong menolong). Sebagai contoh, persaudaraan yang diikat antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ketika kaum Muhajirin berhijrah dari Mekah ke Madinah, mereka menghadapi problematika sosial dan ekonomi, berkaitan dengan kelangsungan hidup, mata pencaharian dan tempat tinggal.
Kaum Muhajirin tidak memiliki modal, sebab seluruh harta mereka sudah ditinggalkan. Mereka juga tidak memiliki lahan pertanian di Madinah. Bahkan mereka juga tidak berpengalaman di bidang pertanian Maka, ketika kaum Anshar menawarkan agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi kebun kurma mereka untuk kaum Muhajirin, beliau menolaknya. Karena beliau takut hasil pertanian Madinah menurun karenanya. Akhirnya kaum Anshar tetap memiliki kebun mereka, namun hasilnya dinikmati bersama.
Kaum Anshar pun rela menghibahkan rumah-rumah mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau menolaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun rumah-rumah untuk kaum Muhajirin di areal tanah yang dihibahkan oleh kaum Anshar dan di areal tanah yang tak bertuan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembangkan dua sektor yang sangat penting untuk mendongkrak perekonomian Madinah, yaitu sektor perdagangan dan sektor agrarian (pertanian dan perkebunan). Seperti yang digambarkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّ إخْوَانَنَا مِنَ الْمُهَا جِرِيْنَ كَانَ يَشْغَلُهُمُ الصَّفْقُ بِالأَسْوَاقِ، وِإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنَ الأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمُ الْعَمَلُ فِى أَمْوَالِهِمْ
Sesungguhnya rekan-rekan kita dari kalangan Muhajirin sibuk mengurusi perdagangan mereka di pasar dan rekan-rekan kita dari kalangan Anshar sibuk mengelola harta mereka. Yakni sibuk bercocok tanam.
Dalam riwayat Muslim tercantum: كَانَ يَشْغَلُهُمُ عَمَلُ أَرَضِيْهِم (mereka sibuk mengolah tanah mereka). Dalam riwayat Ibnu Sa’d tertera: (َ كَانَ يَشْغَلُهُمُ الْقِيَامُ عَلَى أَرَضِيْهمْ) mereka sibuk mengelola tanah mereka.
Sekalipun kaum Anshar telah menyerahkan semua yang mereka miliki dan menunjukkan kedermawanan, namun tetap saja dibutuhkan suatu peraturan dan undang-undang yang menjamin kesejahteraan kaum Muhajirin dan menjauhkan mereka dari perasaan bahwa mereka menjadi beban bagi kaum Anshar. Olehkarena itu, disyariatkan undang-undang persaudaraan pada tahun pertama hijriyah.
Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan 45 orang kaum Muhajirin dengan 45 orang kaum Anshar. Undang-undang ini menyebabkan adanya hak-hak khusus antara dua orang yang dipersaudarakan, seperti saling membantu secara mutlak dalam menghadapi segala macam problema kehidupan baik moril maupun materiil.
Kaum Anshar sangat komitmen menjalankan undang-undang persaudaraan ini sampai-sampai mereka rela memberikan setengah hartanya dan salah seorang dari istrinya kepada saudaranya dari kaum Muhajirin, sebagaimana yang dialami ‘Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Namun, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu ‘anhu menolaknya. Ia hanya meminta ditunjukkan di mana pasar berada.
Setelah kaum Muhajirin mampu menyesuaikan diri dengan iklim Madinah dan mengetahui sumber-sumber mata pencaharian serta mendapatkan harta rampasan pada perang Badar yang mencukupi kebutuhan mereka, maka kembalilah hukum waris kepada kondisi semula, yaitu sesuai dengan hubungan kekerabatan. Dengan begitu dihapuslah hukum saling mewarisi antara dua orang yang dipersaudarakan sesuai dengan nash al-Qur’ân.
Akan tetapi tidak cukup sampai di situ. Gelombang hijrah ke Madinah terus berlangsung, khususnya sebelum terjadinya perang Khandaq. Tamu, utusan dan delegasi tiada henti datang ke Madinah. Sebagian besar dari mereka menetap di Madinah; namun sebagian mereka tidak mengenal siapa pun di Madinah, sehingga mereka seperti orang asing yang membutuhkan nafkah dan tempat tinggal yang layak
Untuk itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar dinding luar masjid sebelah belakang diberi atap. Atap itu kemudian dikenal dengan sebutan ash-Shuffah atau tempat berteduh. Namun, tidak ada dinding yang menutup bagian samping bangunan tersebut. Orang-orang yang menjadikan tempat itu sebagai tempat tinggal disebut ahli Shuffah. Shuffah itu cukup untuk menampung banyak orang. Diberitakan bahwa jumlah mereka sekitar tujuh puluh orang, lalu berkurang atau bertambah sejalan dengan arus hijrah ke Madinah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan perihal kehidupan ahli Shuffah. Beliau mendahulukan mereka dalam pemberian infak dan makanan jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kelebihan harta.
Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusulkan pembuatan tali di antara dua ruangan bagian atas masjid, dan memerintahkan agar setiap orang dari kaum Anshar mengeluarkan setandan kurma dari kebun masing-masing untuk Ahli Shuffah dan fakir miskin. Lalu para Sahabat mengikat tandan tandan kurma tersebut di tali itu dan yang terkumpul kurang lebih dua puluh tandan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada para Sahabat untuk menginfakkan hartanya kepada ahli Shuffah. Maka, para Sahabat pun berlomba berbuat kebaikan kepada Ahli Shuffah. Para hartawan dari kalangan Sahabat mengirimkan makanan kepada mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi Ahli Shuffah kepada para Sahabat selepas shalat Isyâ’, agar mereka dijamu di rumah para Sahabat tersebut.
Kejadian ini terjadi di awal awal hijrah. Ketika Allah Azza wa Jalla telah mencukupi kebutuhan mereka, maka tidak perlu lagi mengajak mereka makan di rumah para Sahabat.
Tidak diragukan lagi, siapa saja pasti takjub melihat bentuk-bentuk persaudaraan yang kokoh serta sikap mendahulukan kepentingan orang lain ini. Hal seperti ini tidak akan didapati dalam sejarah manusia manapun kecuali dalam sejarah Islam.
Dengan begitu, tercipta jaringan sosial yang sangat kuat antara si miskin dengan si kaya. Si kaya mengeluarkan hartanya untuk membantu masyarakat dan menutup celah-celah yang nampak dalam pembangunan sektor ekonomi yang disebabkan perbedaan pendapatan. Mereka mengeluarkan zakat sebagai penunaian kewajiban dari Allah Azza wa Jalla dalam rangka memenuhi kebutuhan kaum fakir miskin. Kaum fakir miskin itu akan merasa gembira jika harta si kaya semakin banyak karena mereka akan mendapatkan kebaikan juga darinya.
Kaum hartawan dan kaum dhu’afâ‘ sama-sama berjuang dalam satu barisan. Sebab akidah Islam menentang keras adanya pertikaian antar golongan sosial dalam masyarakat. Islam mempersaudarakan antara kaum hartawan dan fakir miskin, merapatkan barisan untuk menyambut panggilan jihad. Inilah bentuk masyarakat Muslim di Madinah yang dibina langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tercatat dalam sejarah bahwa Utsmân bin Affan Radhiyallahu ‘anhu pernah menginfakkan hartanya sebesar seribu ekor unta lengkap dengan gandum, minyak dan kismis untuk orang miskin di kalangan kaum Muslimin, ketika krisis ekonomi melanda Madinah semasa pemerintahan khalîfah Abu Bakar Ash-Shiddîq. Padahal, para pedagang telah menawarkan keuntungan untuknya sampai lima kali lipat dari modal yang ia keluarkan, ia hanya menimpali: “Aku mendapat keuntungan yang lebih besar dari itu.” Mereka berkata: “Siapa yang sanggup memberikan engkau keuntungan yang lebih besar dari kami karena hanya kamilah para pedagang di Madinah?” Utsmân Radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Allah Azza wa Jalla telah memberikan keuntungan untukku sebanyak sepuluh kali lipat.” Lalu ia bagikan hartanya kepada fakir miskin.
Contoh seperti ini banyak terjadi dalam kehidupan Salafus Shalih. Oleh karena itu tidak pernah terjadi perbedaan atau pertikaian antar tingkatan social dalam masyarakat. Juga tidak terjadi pengelompokan masyarakat guna mendapatkan keuntungan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya perseteruan antara kelompok atas dan kelompok bawah. Masyarakat Muslim tidak pernah mengenal adanya penindasan si kaya terhadap si miskin atau penguasa terhadap rakyatnya; juga tidak mengenal adanya pengelompokan manusia berdasarkan ras dan warna kulit. Kaum Muslimin seluruhnya sama seperti jari-jari sisir, tidak ada yang lebih utama antara satu dengan yang lainnya, kecuali dalam hal takwa. Masyarakat Muslim terbuka bagi siapa saja, karena itu Islam menganjurkan untuk bersama-sama berjuang dan berkarya dan bersama-sama menjalin hubungan sosial dalam masyarakat. Tidak pernah ada larangan bagi orang miskin untuk menikahi gadis kaya, atau tidak ada halangan bagi kaum lemah untuk mendapatkan jabatan penting dalam pemerintahan atau kedudukan tertinggi dalam militer. Dengan demikian keistimewaan Islam akan tetap tampak dalam pembangunan masyarakat yang kuat dan kokoh di atas pondasi cinta kasih dan solidaritas sosial; bukan dengan dasar kebencian, iri dan dengki yang akan selalu berakhir dengan kehancuran.
Referensi:
1. Sîrah Shahîhah tulisan Dr. Akram Dhiyâ’ al-‘Umari.
2. Shahîh al-Bukhâri.
3. Fathul Bâri karya Ibnu Hajar al-Asqalâni.
4. Tahdzib Sîrah Ibnu Hisyâm karya Abdus Salâm Hârun.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2789-kebijakan-rasulullah-dalam-menuntaskan-kemiskinan.html